"Kamu itu sebenarnya pintar, tapi kenapa malah milih sekolah di madrasah, kenapa gak sekolah di SMP Negeri favorit saja" kata-kata kecewa tetanggaku yang juga ayah dari temen dekatku waktu itu. karena aku lebih pintar dari anaknya, tetapi malah milih sekolah yang tidak menjanjikan masa depan yang cerah katanya, yakni di Madrasah. tanpa ada maksud sombong mungkin kata-kata tetanggaku itu menunjukkan bahwa kemampuanku tidak lagi diremehkan waktu itu, dan sedari kecil aku merasa berada di posisi menengah keatas, on the safety level. bahkan perlahan prestasiku semakin baik, meski terkadang nasib tidak merespon bagus karena harus tertahan karena urusan materi.
dan puncak prestasiku ini adalah ketika aku kuliah.bayangkan bagaimana mungkin seorang lulusan pondok dapat mengalahkan mahasiswa lain yang notabene kebanyakan lulusan SMA negeri, favorit lagi. puncak kebanggaanku kali itu, sekaligus sebagai pembuktian kepada ayahku yang dulu bersikeras tidak mengijinkan aku melanjutkan pendidikan tinggi. dan inilah saat-saat keemasan hidupku, aku dikenal sebagai orang pintar dikampus meski dengan penampilan desa. aku masih ingat waktu itu aku masuk sebuah mata kuliah public relation yang mahasiswanya campuran dari kelas-kelas lain. ada seorang mahasiswa yang memanggilku dengan sebutan hai Ambon, karena aku item. bukan main sakit hatiku waktu itu. dan diwaktu yang lain, pada satu mata kuliah yang didalamnya kita dibagi berkelompok dan dia bergabung dengan kelompokku. kita berdebat pada satu masalah yang akhirnya dosen membenarkan jawabanku, yang akhirnya menekuknya dengan berkata padaku, "ternyata kamu pintar juga", betapa puas dan bersyukurnya diriku waktu itu karena telah membuktikan padanya kemampuanku.terkadang ada dosen yang menelponku meminta bantuan, teman-teman kampus pun pada nempel dan begitu dekat denganku, sering tanya tugas dan tanya macem-macem, semangat belajar yang begitu membara kala itu, tidak pernah sekalipun aku membolos kuliah, sampai pernah aku bangun kesiangan, aku berlari dari kos menuju kampus hanya demi mengejar waktu, meski ternyata kelasnya kosong karena dosen berhalangan.
Aku benar-benar seperti hampir berhasil merealisasikan niat untuk berubah di kota budaya ini. aku mulai aktif di organisasi dan menjadi bagian dari struktur kepengurusan. berusaha menciptakan keadaan agar agar dapat mengubah kebiasaan lama anak desa yang kolot, pemalu dan tak pandai bicara. dan kurasakan perlahan sirna. setiap saatpun aku benar-benar berusaha menguasai materi kuliah, catatan-catatanku buanyak sekali. dan aku tak pernah sekalipun mencontek saat ujian. sehingga nilai ini benar-benar murni dari usahaku. pernah suatu ketika ada seorang dosen yang memarahiku karena aku dituduh merekayasa tanda tangan absen, padahal itu kerjaan temenku. sikap beliaupun menjadi agak kurang baik kepadaku. namun ketika hasil ujian mid semester dibagikan.alhamdulillah aku mendapat nilai tujuh, sedangkan yang lain hanya mendapat 3 dan 4. karena memang semua pertanyaannya tidak berasal dari buku melainkan dari penjelasan ketika di kelas, saat itupun dosen itu menjadi baik padaku, saat-saat aku berada diatas angin dan aku merasa dekat dengan Allah. karena di kota Solo ini aku benar-benar berniat untuk menjadi baik, terutama berkaitan dengan keislamanku. ketika aku berjalan dari kos ke kampus atau dari kampus pulang ke kos jalan kaki di tengah terik panas, sedang di jalan para mahasiswa berlalu lalang boncengan pakai motor bagus dengan ceweknya. aku hanya tersenyum seraya berdoa agar pengorbanan ini tidak sia-sia.
Aku benar-benar seperti hampir berhasil merealisasikan niat untuk berubah di kota budaya ini. aku mulai aktif di organisasi dan menjadi bagian dari struktur kepengurusan. berusaha menciptakan keadaan agar agar dapat mengubah kebiasaan lama anak desa yang kolot, pemalu dan tak pandai bicara. dan kurasakan perlahan sirna. setiap saatpun aku benar-benar berusaha menguasai materi kuliah, catatan-catatanku buanyak sekali. dan aku tak pernah sekalipun mencontek saat ujian. sehingga nilai ini benar-benar murni dari usahaku. pernah suatu ketika ada seorang dosen yang memarahiku karena aku dituduh merekayasa tanda tangan absen, padahal itu kerjaan temenku. sikap beliaupun menjadi agak kurang baik kepadaku. namun ketika hasil ujian mid semester dibagikan.alhamdulillah aku mendapat nilai tujuh, sedangkan yang lain hanya mendapat 3 dan 4. karena memang semua pertanyaannya tidak berasal dari buku melainkan dari penjelasan ketika di kelas, saat itupun dosen itu menjadi baik padaku, saat-saat aku berada diatas angin dan aku merasa dekat dengan Allah. karena di kota Solo ini aku benar-benar berniat untuk menjadi baik, terutama berkaitan dengan keislamanku. ketika aku berjalan dari kos ke kampus atau dari kampus pulang ke kos jalan kaki di tengah terik panas, sedang di jalan para mahasiswa berlalu lalang boncengan pakai motor bagus dengan ceweknya. aku hanya tersenyum seraya berdoa agar pengorbanan ini tidak sia-sia.
dan itulah saat-saat keemasanku, namun tanpa aku sadari perlahan aku mulai keluar dari poros ini. aku salah bahwa nasib orang itu tidak bisa berubah. dimulai saat ego-ego ku muncul kembali ketika aku berniat mengusirnya dengan belajar di kota solo ini, aku tak pernah akur dengan bapak,sebenarnya dari dulu memang sudah tidak akur. meski aku berprestasi dan menjadi aktifis di kampus, bapakku tetap menyepelekanku, setiap pulang ke rumah tidak ada kesan baik yang kudapat dari bapakku.dan puncaknya adalah ketika aku mulai menanjak di semester atas dimana aku benar-benar butuh sebuah kendaraan untuk kebutuhan tugas kuliah, aku minta ijin untuk bawa motor buat kuliah dengan penjelasan seadanya, beliau tetap melarangku, padahal aku benar-benar butuh. dengan jarak kos yang begitu jauh dari kampus, beliau tidak mengijinkanku memakai motor dengan alasan yang kurang logis buatku. itulah saat-saat dimana aku sudah tak mempunyai lagi sebuah kepercayaan dan alasan untuk bangkit dan memperjuangkan sesuatu. maka saat itulah aku mulai berani bolos kuliah, menyepelekan nilai, dan tidak memperhatikan akademikku. perlahan prestasiku surut, dan aku ditinggal oleh temen-temen. keadaanku semakin memburuk sebagaimana hubunganku dengan bapak. sampai sampai ketika mengambil KHS, pembimbing akademikku yang dulu memujiku, kini memarahiku dengan kata-kata yang benar-benar membuatku sakit hati. seperti tak punya harga diri diriku ini.
dan sekarang, ketika aku menulis ini, aku masih beranjak di bangku kuliah di semester 9, ketika teman-teman angkatan lainnya sudah lulus kuliah. bahkan ketika bapak meninggalkanku di bulan januari lalu, aku masih sulit bangkit. kakak-kakakku pun sering melontarkan pertanyaan kenapa aku tidak segera lulus. dan dalam hati aku menjawab 'setelah semua yang kualami ini, kenapa?' dan aku baru merasakan bagaimana menjadi orang di posisi terendah setelah berada diatas. semoga posisiku di akhirat nanti tidak seperti ini juga.
dan inilah sebuah fluktuasi itu, ketika kita mengira kehidupan ini tidak bisa berubah, maka dunia akan memperlihatkan kekejamannya, ya Allah, semoga Engkau membukakan pintu rahmat untukku, agar tidak tenggelam lama dalam keputus asaan ini..
0 comments:
Post a Comment