Malam ini hanya terdengar gemericik air sisa hujan petang tadi, hanya tercium aroma khas tanah kering yang bercampur air, dan angin malam yang berlarian menyusupi sela-sela rambut panjangku. ya, ini malam minggu, malam dimana rasa cinta diadu. para pasangan suami istri yang telah melepas penat pekerjaannya selama seminggu, mungkin sekarang tlah bersiap jalan-jalan ke kota bersama anak istri, merangkai kembali kehangatan keluarga yang terbias kesibukan seminggu ini. para kekasih mungkin sudah sibuk mendandani diri hendak menjemput kekasihnya untuk menyambung kembali rajutan asmara yang tertunda oleh studi. atau apalah kisah romantis lain yang terbingkai malam minggu ini. sebenanrya aku tak perduli.
yang lebih membuat ku perduli dan sedikit menyita fikiran untuk direnungkan, pagi tadi salah satu ikhwan teman satu kos mengakhiri masa lajangnya, tidak meriah sebagaimana sms doi malam sebelumnya, hanya akad, resepsinya masih bulan maret tahun depan. namun menurutku itu tidak mengubah indahnya momen kebahagiaan dia dan pasangannya itu. menikah tetap menikah. dan teman ini seumuran dengan aku.cukup beralasan untuk membuatku menengadahkan pandangan dan merehatkan tubuhku, sejenak membiarkan fikiran ini kembali bekerja, menerawang. tentang refleksi yang lama terbuang, 'lalu bagaimana dengan aku?'
minggu sebelumnya, aku datang ke pernikahan temenku di Jepara, adik angkatan di pondok juga teman satu kos,doi baru lulus tahun kemarin, dan dengan berbagai liku perjalanan cintanya, menghadapkan dia pada pilihan nekat untuk menikahi pujaan hatinya cepat, pembuktian cinta, sebelum semuanya terlambat. dan benar, dia melakukannya. itu semua tak jauh dari peran orang tuanya yang mendukung langkahnya meski sedikit berbeda argumen, biasa, beda usia, beda pola fikir. namun bagaimanapun ujungnya tetap sama, dia bahagia. pernikahannya cukup sederhana untuk seorang anak juragan konveksi sekaliber bapaknya. tapi rasanya memenangkan keputusan untuk menikah di usia muda membuatnya mabuk kepayang, mungkin lupa bahwa dia masih di dunia, bukan di syurga. aku ikut tersenyum bahagia dengan kebahagiaan mereka.
malam tadi,pun. bekas teman satu kosan dulu, anak pemalang, lewat pesan facebook doi minta doa restu padaku. 20 desember nanti -insyaAllah- dia akan mengakhiri masa lajangnya. aku bilang siap mendoakan dan minta maaf tidak bisa datang.
-done-
setiap orang mempunyai pandangan yang berbeda-beda tentang makna pernikahan. ikatan cinta, regenerasi keturunan, bagian alur kehidupan, beribadah, atau apalah.. maka dari perbedaan pandangan-pandangan itu, berbeda pula prioritas waktu menikah mereka. ada yang menikah muda, ada yang tidak begitu perduli kapan mau menikah, ada yang kondisional -tergantung di usia kapan mereka mapan-. dan soal uang, pernikahan pun selalu saja terkait masalah materi, meskipun beberapa kalangan juga tidak memperdulikan. yang menarik selalu ada pertanyaan retorik yang muncul ketika mendengar ada anggota keluarga atau temannya yang belum begitu mapan tetapi bersikeras mau menikah, "mau kamu kasih makan apa istrimu..??'' aku tidak hendak membahas itu benar atau salah. tapi yang menjadi permasalahan. SEMUA KATA-KATA ITU SELALU TEREKAM DI DALAM MEMORI DAN TERUS BERPUTAR TAK PEDULI WAKTU...!!!!!
aku anak terakhir dari 7 bersaudara, semua kakakku cowok, kecuali kakak yang pertama. masa kecil ku bertepatan dengan mada remaja kakak-kakakku, hingga apapun yang mereka lakukan terekam di memoriku. mereka gaul di lingkungan, menjalin hubungan dengan wanita, dan suka memutar lagu anak muda bertema cinta. mungkin karena itu aku sudah tertarik dan mengenal cinta saat aku kelas 5 SD, aku sudah sibuk mengisi halaman-halaman tak terpakai kujadikan diary. perasaan pertamaku kupendam selama 10 tahun secara diam-diam, kelas 1 SMP aku mulai jago mengungkapkan perasaan lewat puisi, meski tak tersampaikan. namun hampir semua halaman belakang buku pelajaranku tak pernah kosong dari coretan puisiku. dan semua berjalan beriringan waktu, aku merasa menjadi lebih dewasa dari umur jasadku, fikiranku, angan-anganku, imajinasiku dan harapanku melesat jauh melewati batas umur dan masa remajaku. itulah aku.
kelas tiga SMP, saat aku dikasih oleh-oleh seprai besar dari mekkah, kusimpan seprei itu dan kufikir kupakai nanti kalau sudah menikah, meski nyatanya masku sendiri yang mengambil seprei biru itu dan memakainya waktu aku tinggal di pondok, kecewa, namun bukan itu yang hendak kubahas. kelas 1 SMA aku tertarik dengan psikologi, alasannya. saat SMP aku masih terlihat culun dan lugu, sedangkan lingkungan sekolahku hampir kebanyakan anak-anak gaul. menjadi anak-anak marjin dengan anak-anak culun yang lain tidaklah mengenakkan. tersingkir, namun memoriku tetap jalan, aku hanya bisa merekam dan berfikir. itu yang membuatku hendak balas dendam..aku ingin mengetahui seluk-beluk karakter anak-anak seperti itu,
buku psikologi pertama yang kubacaberjudul dosa lelaki dan rahasia perempuan kudapat dari teman pondokku yang sama-sama maniak soal psikologi. lucunya, akhirnya doi kuliah jurusan psikologi dan aku terdampar di pendidikan bahasa inggris. dari buku itu aku mengenal berbagai macam karakter manusia, tentang emosi, tentang sesuatu yang manusia tak bisa mengubahnya karena sudah menjadi fitrah, cinta. dari situ aku menjadi seorang 'player', eksperimen??ya aku agak nakal waktu itu, aku mencoba mengenal berbagai macam karakter temen cewek yang kukenal dan aku selalu melumpuhkan perasaanya. aku menjadi sang penakluk. namun aku tak pernah bertindak lebih, meski pacaran, aku tak pernah bersentuhan. untungnya aku masih malu-malu, sifat anak bungsu masih melekat di kepribadianku..menurutku pacaran tak lebih dari sekedar peluapan perasaan dan penunjukan jati diri kepada teman sebayanya, maklum, remaja.
dari situ perasaanku semakin bergejolak dan imajinasiku terus melangkah maju, mendewasa sebelum waktunya. meski sudah SMA dan berada di asrama, menulis diary tak pernah absen buatku. bahkan ketika teman-teman lain bermain-main atau nongkrong di depan kelas saat pelajaran kosong, aku malah sibuk membuka-buka kamus arab untuk mencari nama-nama yang bagus buat anakku nanti, dan hasilnya, nama-nama itu bener-bener melekat namun bukan pada anakku, melainkan ponakan-ponakanku.
lulus sekolah aku mulai membuka wacana pernikahan kepada keluargaku, beberapa diantara mereka mengerti, alasannya 'anak pondok kebanyakan menikah muda', namun lebih banyak yang menganggapku masih kencur.yah sebagai anak mama aku hanya bisa bicara tenpa realisasi nyata. ditahun pertama pasca lulus SMA aku bentrok dengan bapak, aku pengin kuliah namun tiada yang menggubris nya..aku 'mutung' dan merusak diri. lagi-lagi anak bungsu bisanya cuma ngambek. setahun setelahnya aku merubah rancangan hidup. usai habis satu tahun aku kursus D1 aku hendak lari ke semarang dan menjauhi rumah, toh aku tak jadi kuliah. aku berencana 2 tahun mengumpulkan duit lalu aku menikah muda. lagi-lagi gagal. aku malah disuruh kuliah dan dibiayain kakak ipar. setidaknya 4 tahun aku harus memendam rasa, meski belum juga kutahu untuk siapa rasa ini. saat kuliah aku ikut organisasi dakwah kampus.dan tiada yang dibicarakan disana selain menikah, dan menikah.
hasratku kembali membuncah, aku ingin menikah saat kuliah. tentang rejeki, aku tahu selalu akan ada jalan. apalagi banyak teman-teman lembaga dakwah yang menikah saat masih kuliah.pelan-pelan aku sisipkan kata menikah disetiap perbincangan keluarga, seperti zionis yang menyebarkan faham freemason nya, namun lagi-lagi gagal. slalu dengan alasan sama seperti perbincangan sebelumnya, "mau dikasih makan apa istrimu?", singkatnya, Lulus dulu, kerja, baru menikah, seperti orang kebanyakan pada umumnya. tapi aku orang yang tak umum,,ingin sekali aku menyadarkan itu ke mereka, namun apa boleh dikata. biarlah semua berjalan semestinya. dan hasil dari itu semua??? kuliahku hancur......prestasi-prestasi pada masa awal kuliah lenyap begitu saja. dan dari situ aku baru menyadari, betapa kesuksesan orang-orang besar itu tak lepas dari dorongan orang-orang terdekat di belakangnya. support dan arahan itu lebih mengena daripada materi, buktinya, ya aku ini.
ya, sekarang aku tidak tahu harus bagaimana lagi. umur 24 ku mungkin tidak seperti umur anak anak lain yang merasa jalannya masih panjang untuk meraih masa depan yang cerah sebelum memikirkan menikah, aku lelaki umur 24 yang merasa sudah berumur 45 tahun. tak lagi muda.. aku hanya bisa terdiam dengan ini semua sembari mengusap mata yang berkaca-kaca. harapan? semoga anakku bernasib lebih baik dari ayahnya, bukan soal materi. namun bimbingan dan support keluarga kepada nya nanti, biar dia bisa memilih kehidupannya sendiri, kehidupan yang diingini,yang disukai, yang nantinya akan diperjuangkan benar. aku ingin menjadi ayah yang baik nantinya, meski ku tak pernah tahu kapan aku menjadi. aku hanya bisa mewanti-wanti kepada teman yang lainnya agar menjadi ayah yang baik. menjadi kakak yang penyayang dan pengertian, menjadi teman yang perduli. jangan sampai ada regenerasi penyesalan yang akan selalu melemparkan pernyataan penyesalan berkelanjutan dari generasi ke generasi, " jangan seperti ayah dulu...",
yah, inilah hidup. aku sudah merasa gagal di hidup ini. benar, kehidupan ini selalu berputar, kalau ini tentang waktu, seharusnya kita mengisi detik-demi detik hidup ini dengan penuh makna. bukan sekedar menjalani hidup, seng penting iso mangan..
ini bukan tentang cinta, ini bukan tentang perasaan, namun bagaimana mengakhiri kehidupan begitu sempurna, begitu berharga, jika bukan saya, saya berharap ini buat anda.
0 comments:
Post a Comment