
Merenungkan
satu lembaran kisah baru nantinya, malah membuatku seolah memadatkan haru di
kalbu. Mengingat ada saja rintangan yang menghadang, silih berganti. Membuat
asa yang telah tertulis, perlahan memudar. Ya, siapa sih yang tidak ingin
menjalani kehidupan berumah tangga. Ini bukan sekedar tentang cinta, bahkan
seks belaka. Namun merasakan kehidupan baru yang lebih berkualitas dengan
hadirnya sosok yang dari dulu kita cari dan tunggu, istri, anak. Ya mereka
bukanlah sekedar pelengkap dalam kehidupan kita, namun itu sudah menjadi bagian
yang tak terpisahkan. Itulah yang membuat para lajang selalu merindukan
pernikahan, meski mereka seluruhnya paham maksud juga dari pernikahan itu
sendiri. Itu seperti tubuh yang secara reflek mencari makanan saat perut terasa
lapar, atau lari saat merasakan ada bahaya. Itulah INSTING, sesuatu yang
dikaruniakan Allah untuk memenuhi kebutuhan kita.
Bagi
seorang lajang, hal terindah yang biasa dilakukan adalah merefleksikan
bentuk-bentuk kepenasarannya terhadap pasangannya nanti lewat khayalan. Seperti
apa dia nanti, bagaimana ketika melamarnya, kemudian saat-saat awal menikah
nanti merajut cinta, dan sebagainya. Semuanya tentang kebahagiaan berdua,
meskipun memang ada konsekuensinya. Aku paling tidak suka ada orang (terutama
orang tua) yang malah menakut-nakuti para lajang yang hendak menikah,
memberitahu gimana susahnya mencukupi kebutuhan keluarga, belum nanti kalau ada
yang sakit, apalagi ditambah ketidak puasan dengan keadaan pasangan sebagaimana
yang dia harapkan sebelumnya. So what? Jangankan menikah, kita miara ayam saja
butuh konsekuensi, rutin memberikan makan, ngecek kesehatan, jemur tiap pagi.
Dll. Dan bukankah wajar jika terkadang kita mengalami kesusahan apalagi ketika
berumah tangga, kekurangan harta,konflik dan problem lainnya. Terkadang manusia
seringkali mengecap kebahagiaan itu adalah ketika kita selalu berada di titik
aman diantara dinamika kehidupan yang ada, semisal selalu ada duit, hidup
nyaman. Itu bukan karakter dunia. Tapi nanti, kelak di syurga.
Suatu
ketika aku berbincang-bincang dengan teman dekat yang memilih dunia dagang
sebagai mata pencahariannya, dimana teman-teman yang lain kebanyakan mengincar
pegawai, atau PNS, yang mempunyai gaji tetap tiap bulannya. Ada satu hal yang
menarik buatku, dia bilang bahwa tenyata kehidupan pedagang cenderung lebih
dekat dengan Allah ketimbang jadi pegawai, bagaimana tidak, setiap dia mau
berangkat jualan, dia selalu berdoa sungguh-sungguh agar daganganya laku,
mengingat keluarga dirumah selalu menanti hasil dari jualan tersebut untuk
mencukupi kebutuhan sehari-sehari. Kemudian, ketika dia berada saat dimana
dagangnnya belum laku, dia mencoba bersabar, dan setiap ada yang beli
dagangannya, dia benar-benar merasakan tangan Allah disitu, merasa tiap orang yang
membeli itu dituntun Allah. Sehingga selalu ada kesyukuran yang lebih besar
setiap harinya. Lalu bagaimana dengan pegawai?. Dia rajin gak rajin, tetap aja
setiap bulan dapat gaji. Kehidupannya hanya berkutat bekerja dan menanti
gajian, sungguh sedikit sekali mereka menyandarkan urusan mereka kepada Allah,
karena setiap bulan sudah pasti akan mendapat gaji.so? Mana yang lebih
berkualitas menurut anda?
Menikah,
memang butuh uang, namun uang tidak seharusnya menjadi alasan.menghalangi
seorang lajang untuk menikah. Bagaimana aku kehabisan akal ketika mendapati
pada masa keemasan Rasulullah dimana moral tlah tertatapa rapi, anjuran untuk
menikah lebih intens dibandingkan dengan sekarang yang anak seumuran jagung
saja sudah punya fikiran tentang berhubungan badan antar lawan jenis karena
saking mudahnya mendapatkan film-film dewasa di tv ataupun internet. Sudah
membudaya pergaulan bebas dan hamil diluar nikah, dan mereka-mereka ini lebih
memilih menunda nikah dan membiarkan dirinya terjerumus ke dalam pergaulan
bebas demi menjaga karir yang pasti kembali ke uang juga. Lalu apakah
sedemikian bobroknya dunia ini sehingga semua moto hidup menjadi, dari uang, oleh uang, karna uang,
dan untuk uang. Naudzubillah min dzalik.
kita
cermati perhatian tentang pernikahan pada zaman rasulullah dulu. Suatu hari
rasulullah melihat seorang sahabat yang sedang beristirahat di serambi masjid
yang berdekatan-bersambungan dengan rumah rasulullah. Memang ada beberapa
sahabat yang tidak punya apa-apa, mereka memilih tinggal di masjid untuk
melayani rasulullah. Nah, kemudian rasulullah menanyai sahabat tadi, apakah
kamu sudah menikah?" dia menjawab " belum ya rasulullah". Lalu
rasulullah kembali menanyai? " tidakkah kamu ingin menikah?" kemudian
sahabat tadi menjawab, "saya hanyalah orang miskin yang tidak mempunyai
apa-apa ya rasulullah", kemudian menurut anda, apakah yang akan diucapkan
rasulullah setelah itu? Apakah "oh yasudah, cari uang dulu sana buat
nikah?", TIDAK.!! Rasulullah kembali mengulangi pertanyaan 'tidakkah kamu
ingin menikah?' tadi sebanyak tiga kali, biasanya, pengulangan yang diucapkan
rasulullah bermakna bahwa hal itu sangat penting sekali, seperti saat
rasulullah menggambarkan kengerian siksa neraka. Maka setelah sahabat itu paham
makna ucapan rasulullah, dia menjawab mau. Akhirnya rasulullah menyuruh dia
untuk mendatangi salah seorang warga
agar menikahkan anaknya dia dengan dirinya atas perintah rasulullah.
Tanpa rasulullah mempertimbangkan dulu bibit-bebet-dan bobot sahabat yang tidak
punya apa-apa tadi dengan anak yang hendak rasulullah nikahkan dengannya,
jelas. Karena derajat, kehormatan, atau yang disini biasa disebut bibit-bebet-dan
bobot itu adalah dari tingkat ketaqwaannya, bukan pendidikan ataupun kekayaan.
So, setelah mendengar kisah tadi,bagaimana menurut anda?
Rasulullah
menikahkan Fatimah r.a, putri kesayangaannya dengan Ali bin Abi Thalib,
keponakannya. Ketika hendak menikahkan mereka, Rasulullah menanyakan apa yang
Ali punya untuk dijadikan mahar, bukan menanyakan seberapa kaya dia untuk bisa
membahagiakan PUTRI RASULULLAH secara materi. Ali bilang bahwa dia tidak punya
apa-apa. Kemudian Rasulullah teringat baju besi yang dimiliki Ali,akhirnya
rasulullah meminta itu sebagai mahar untuk menikahi seorang putri Rasulullah,
yang notabene penguasa arab kala itu. So? Kalau bukan kehidupan pada zaman
rasulullah yang kita teladani, terus apa yang akan kita harapkan dari beliau
saat kita mati nanti. Padahal kunci syurga ada pada beliau lewat sunnahnya.
Saya
maklum dengan orang tua yang menahan anaknya untuk menikahi atau dinikahi
karena belum punya pekerjaan atau mapan, sayapun pasti akan melakukan hal
seperti itu kalau saya jadi bapak. Namun baiknya kita tidak selalu cenderung
kepada urusan dunia, seperti kisah teman
pedagang yang aku ceritakan tadi bahwa kita harus selalu pada tingkat
kesadaran bahwa Allah lah yang berhak kita gantungi terhadap segala urusan,
bukan dengan ketersediaan kekayaan kita merasa aman. Kita juga sebaiknya
menyadari bahwa menikah ini bukan sekedar menikah biasa, namun ini ibadah
kepada Allah. So, apakah Allah membiarkan hambaNya yang berusaha menjaga
hubungan denganNya hidup terkatung-katung begitu?. Mungkin kita merasa was-was
karena target hidup kita terlalu tinggi, tidak cukup hanya dengan mencukupi
kebutuhan. Namun kemewahan sudah menjadi patokan, sehingga kita terlalu
khawatir jika kualitas hidup kita pas-pasan.ah kita terlalu naif jika kata
Allah kita abaikan,malah justru komentar manusia yang kita perhatikan. Bukankah
Allah yang mencukupi kita.
Whatever,
saya ikhlas dengan keadaan. Saya hanya merasa menikmati kesempatan bicara
tentang kegalauan seorang lajang yang terhalang derasnya arus kehidupan. Namun
saya yakin, pun matahari yang begitu terik saat siang akan menghangat disaat
senja. Hujan badai akan mereda, banjirnya menyurut, dan derasnya badai berubah
rintikan hujan yang bersambut indahnya pelangi. Dan begitulah jalan cerita ini.
Baik ataupun buruk, bahagia atau derita, itu akan selalu memberikan makna
tersendiri bagi seorang mukmin. Karena tiada satupun keadaan yang mengubah
keyakinannya terhadap janji Allah, dia hanya menelusuri jalan panjang dan
menunggu saat itu tiba. Keberuntungan ataukah kegagalan, hanya akan nampak
setelah kematiannya.
Maka
ijinkanlah kita para lajang mengkhayalkan moment untuk satu saat nanti.
Saat-saat
kesabaran pencarian dan penantiannya berbuah manis oleh keimanan ini.
Meski
kini tuk merenungkanmu seolah membuka haru baru,
Mungkin
karna Berbagai rintangan berganti menghalau asaku,
Akan
selalu terselip keyakinan,,
Bahwa
suatu saat nanti binar parasmu akan nampak jelas dimataku.
Aku tak
peduli apakah waktu benar memberikan kesempatan pada kita tuk bertemu,
Akan
slalu ada deru suara hati yang menanti jawabnya doa di setiap malam panjang.
Yang
perlahan kan mengurai satu persatu kabut yang menutupi kita.
Tetaplah
tersenyum,
Meski
terlalu banyak Waktu yang tlah berlalu,
dan jarak yang masih sangat terbentang.
Lihatlah
kudisini memendam rindu.
Setiap
kali kumenadah tangan kuselipkan namamu...
usah kau simpan lara menanti...
0 comments:
Post a Comment