
( ibnu al-Qayyim)
Pernahkah anda menonton film Into the Wild? film tersebut
mengisahkan seorang sarjana yang setelah memperoleh pencerahan tentang hakikat
hidup dan bahaya materi. Lalu dia memutuskan untuk hidup tanpa uang, seluruh kekayaannya
dia bakar. Dia mengembara dengan naluri dan natural, makan dari hasil alam,
setiap hari menikmati keindahan Tuhan. sampai pada akhirnya dia meninggal di
dalam sebuah mobil van tua yang menjadi rumah juga tempat insiprasi menulis
diarinya.
Setiap orang mempunyai pandangan sendiri-sendiri tentang uang. Ada
yang beranggapan uang adalah segalanya di dunia ini, bagaimana tidak. Secara
logika kita tidak bisa mencukupi kebutuhan tanpa adanya uang, kita tidak bisa
membeli apa yang kita butuhkan dan inginkan.kita tidak disegani dan dipandang
oleh masyarakat, dengan kata lain bahwa uang adalah sumber kebahagiaan bagi
orang-orang yang menganggapnya segalanya. Oleh karena itu ada orang yang rela
melakukan apa saja demi uang. Mereka menggadaikan waktu yang seharusnya buat
keluarga, menggadaikan kewajiban sebagai seorang hamba, kesehatannya, bahkan
sampai menggadaikan kehormatan dan prinsip hidup. Demi selembar kertas ini, yang
kebanyakan dicari bukan untuk memenuhi kebutuhan, namun melampiaskan segala
syahwat keduniaan. Itulah mengapa ada pepatah easy come easy go, uang
haram yang dicari dengan segala cara, akhirnya pun kandas entah kemana. Di meja
judi, di diskotik, di mall, di tempat prostitusi. Begitulah. Seperti narkoba
atau rokok, hal itu akan menjadi kebiasaan tanpa sedikitpun kenikmatan. Karena
orang-orang yang hanya memikirkan materi, hatinya takkan tenang.
Akan ada kehidupan setelah kematian, mungkin kepercayaan seperti
ini yang berhasil memutuskan jerat-jerat materialisme di kehidupan orang-orang
yang beriman. Mereka paham bahwa mereka hidup dengan memikul tanggung jawab
sebagai seorang hamba, menghabiskan hari-hari dengan beribadah dan membaguskan
diri menjadi pribadi yang terbaik ketika bertemu dengan Tuhan mereka nanti. Dan
tidak Cuma itu, mereka sadar betul bahwa semua perilakunya dengan segala
kekayaan yang dia dapatkan dan belanjakan nanti akan dipertanyakan satu
persatu. Mulai dari halal haram nya, kemudian bagaimana dia membelanjakan.
Itulah menjadikan satu idealisme tersendiri bagi seorang mukmin. Bahwa harta
yang berlebih akan memperbudak pemiliknya, menjerumuskan kepada hal yang
sia-sia apalagi dosa.
Ya, mereka sadar letak kebahagiaan dan ketenangan hati yang
sebenarnya itu bukan pada kemampuan mereka mendapatkan apa yang mereka
inginkan. Namun ketika setiap apa yang mereka lakukan sejalan dengan apa yang
tlah Allah tunjukkan lewat Alqur’an dan As sunnah. Sehingga Allah menjadi ridho
atas kehidupannya. Allah mencintai mereka. Mereka sadar bahwa letak tinginya
derajat itu bukan pada banyaknya harta atau tingginya jabatan. Namun ketakwaan
mereka yang menjadikan mereka bangga bahwa inilah jalan kehidupan mereka
sebenarnya. Maka jangan heran melihat orang-orang yang merasa bahagia meskipun
kita melihatnya sebagai orang miskin yang kekurangan. Andai kita bisa menilik
isi dalam hatinya, kau akan cemburu melihat besarnya kekayaan abadi yang mereka
miliki.
Bagi seorang mukmin, hidup adalah medan uji keimanan dimana tiada
satupun tempat selain berjuang mendapatkan kecintaan Tuhannya, dan berusaha
semaksimal mungkin mencari bekal untuk kehidupan akhirat kelak, kehidupan yang
tanpa ujung. Dari situlah mereka menjadikan setiap fase hidup sebagai ujian.
Kekayaan mengujinya, tentang seberapa besar kekayaan membuatnya semakin dekat
dengan Tuhan atau malah membuatnya lupa. Kemiskinan mengujinya, apakah
membuatnya sabar dan semakin bertawakal kepada Tuhannya ataukah membuatnya
meradang, putus asa, lalu mencari jalan yang haram. Kita tidak dilarang untuk
menjadi kaya, namun kekayaan yang melenakan itu lebih berbahaya daripada
kemiskinan yang membuatnya cukup.
Uang dapat merubah hidup seseorang. Dari yang awalnya bersyukur
karena tercukupi segala kebutuhan, menjadi kufur ketika posisi Tuhan
tergantikan. Bagaimana mungkin? Logika sederhana mengajarkanku untuk memahami
cara islam mengelola kekayaan secara matematis. Ketika kita punya uang 1 juta
dan kita membelikannya uang sejuta itu untuk membeli hape android penuh fitur.
Itu berarti kita materialist dan jelas seorang hedonis. Namun jika dengan uang
sejuta itu kita belikan hp biasa seharga 400 ribu,yang penting bisa buat
berkomunikasi, lalu 600 ribu sisanya kita masukkan kotak infak, atau berikan ke
panti asuhan yatim, begitulah islam mengajarkan bagaimana memanfaatkan materi.
ketika melihat salah satu acara di tv menayangkan tentang kekayaan
para artis yang dibuang percuma untuk sekedar membeli barang mewah atau membuat
pesta mahal yang sebenarnya tidak begitu dibutuhkan. Fikiranku langsung
menerawang kepada orang-orang miskin yang jangankan untuk membeli ini itu,
sekedar mencukupi makan sehari-hari pun tak cukup. Tidakkah lebih baik
uang-uang itu didermakan kepada saudara-saudara kita yang seperti itu. Terlepas
dari sebuah tingkat usaha manusia dalam berpenghidupan. Mujur-apes seseorang
tetap Allah yang tentuin, maksudnya tidakkah mereka sadar betapa beruntungnya
hidup mereka, lalu berusaha berbagi kebahagiaan kepada orang-orang di sekitar
mereka sebagai wujud dari kesyukuran. Ya bagaimanapun memang begitulah hidup
Mereka terhanyut oleh nafsu dan lupa kepada kematian. Semoga kita terjaga dari
hal-hal seperti itu.
“Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia berada dalam susah
payah”.
(Q.S Al- Balad:4)
Di kosan tak jarang saya mendiskusikan segala sesuatu dengan
teman-teman mahasiswa dengan segala idealisme yang mereka punya. Termasuk
hal-hal yang seperti ini. Dan ketika kita berbicara tentang arti kemapanan
hidup. Hampir semua mempunyai pemikiran bahwa hidup kaya dan dermawan itu yang
tingkat kemapanan hidup yang paling baik. Namun aku justru tidak mendapatkan
kepuasan dari jawaban mereka. menurutku, seberapapun kedermawanan mereka
nantinya, pun kekayaan secara perlahan akan mengarahkan life style mereka
kepada gaya hedonis. Seperti membeli barang-barang yang cukup wah dan tidak
terlalu dibutuhkan. Akupun juga mungkin akan tak jauh dari mereka jika
keadaanku seperti itu. Untuk itulah perlu kita membuat satu batasan tentang
bagaimana kita meletakkan harta di hidup ini. Sebagaimana perkataan sahabat
Umar bin Khattab r.a “ taruhlah dunia di tanganmu, jangan di hatimu’.
Itu dimaksudkan agar kita benar-benar menggunakan kekayaan kita sebagai
perantara Tuhan untuk membantu sesama, untuk menegakkan syariat islam. Bukan
untuk kita gunakan semaunya. Tentunya kita paham bahwa semua barang yang kita
punya akan ditanyakan di akhirat nantinya, tentang seberapa perlukah membeli
barang itu, bukan sekedar yang penting punya duit untuk membelinya. Dan kita
harus bisa membentengi itu.
Dulu saya punya teman deket di kampus. Sosoknya begitu relijius.
Waktu kita masih bergaul bersama, kita sering membicarakan tentang pernikahan
yang tertunda, alias sudah ingin menikah namun belum dapat ijin dari orang
tua karena belum lulus dan belum punya penghasilan tetap. Beberapa tahun
berselang setelah dia wisuda dan kembali ke kampung halamannya. Di satu
kesempatan setelah beberapa tahun tak bersua kita berkomunikasi lewat hp.
Bercerita macam-macam. Tentang pekerjaannya sekarang yang menjadikan dia jadi
orang yang berduit. Dan cerita tentang ta’arufnya yang gagal. Aku tanya, “lho
kenapa gak jadi, bukannya dulu kita yang paling getol ngomongin nikah. Ente
sekarang kan udah punya duit. Wong aku yang sulit di keuangan aja masih pengen
menikah.” Dan tau apa jawabannya? “Iya nih, alhamdulillah sekarang duit
sudah ada, namun jadinya sekarang malah pengennya cuma buat cari kesenangan dan
hiburan mulu, aku telah terjatuh oleh rayuan wanita. Kacau hidupku sekarang.
Dulu jaman kuliah semangat banget pengen nikah untuk beribadah, eh sekarang pas
udah di depan mata malah pengennya ngundur-ngundur. Sedih banget rasanya”
Iya, semua kekhawatiran yang dulu kufikirkan malah terjadi pada
temanku ini. Sungguh sangat menyenangkan kalau sudah punya uang banyak. Bisa
membeli apapun yang kita ingini, p emuas segala hasrat. Tapi secara gak
langsung dia bisa menjadi bumerang bagi diri kita sendiri. Kita dikendalikan
olehna sebagaimana alkohol membuat peminumnya mabuk kepayang. Memang banyak
pendapat tentang sebuah kemapanan hidup. Tentang uang yang harus dicari untuk
melanjutkan kehidupan ini. Untuk mencukupi semua kebutuhan. Namun bagi kita
yang sedikit banyak pernah mengenyam pendidikan agama. Ada kekhawatiran tentang
dampak dari kemapanan hidup semacam ini. Itulah kenapa kita melihat orang-orang
yang sering mengaji terlihat aneh. Belum punya penghasilan tetap sudah sering
ngomongin nikah. Yah. Karena kita melihat semua ini dari sudut pandang yang
lain. Sebagaimana yang kita pelajari sebelumnya. Tentang hakikat dunia, tentang
apa yang harus kita cari dan segala sesuatu yang harus kita hindari. Mungkin
bagi orang lain, melihat orang yang punya motor ninja 250R seharga 50 juta itu
hal yang biasa. Namanya juga orang berduit. Namun bagi kita itu hal yang
sungguh mengerikan. Melihat bagaimana duit dibuang percuma untuk membeli hal
yang nggak jelas. Membayangkan bagaimana itu nanti dipertanggung jawabkan di
akhirat, atau tidakkah lebih baik di dermakan, bukankah banyak orang yang membutuhkan
bantuan di luar sana.? So, this is how see the world. We are extremely
antimainstream.
Mungkin memang cara berfikir kita tidak serialistis orang-orang
kebanyakan, tapi mengaitkan semuanya kepada Allah bukankah itu lebih baik sebagai
sarana penguatan iman kita, seperti pemikiran ‘kalau aku menikah dan belum
punya pekerjaan, mau kukasih makan apa istriku?’ dengan ‘aku niatkan
menikah untuk beribadah kepadaNya, insyaAllah Allah akan mencukupi rizkiku’
atau ‘duh, aku belum juga dapat pekerjaan, gimana caranya aku punya duit’
dengan ’mungkin ini ujian agar aku lebih bersabar kepada Allah, semoga Allah
menunjukkan jalan rizki untukku’. Hidup memang berjalan diatas logika,
dengan semua hasil sebab akibat. Kalau tidak kerja ya nggak makan, tapi seorang
mukmin berfikir lebih keatas lagi. Bahwa Allah lah yang mengatur segalanya, dia
Maha Berkehendak. So..?
Muhammad, Rasulullah saw, sosok yang kita kagumi dan puja-puja.
Pernahkah kita menghayati betul kehidupannya? Pernahkah kita merefleksikan
kehidupan beliau dengan kehidupan kita lalu menyimpulkan bagaimana merea
memandang dunia? Bajunya yang penuh tambalan, memerah susu kambing sendiri
untuk kebutuhan sehari-hari. Dengan tetap tersenyum beliau pergi ke dapur dan
membantu istrinya menyiapkan makanan. Bahkan ketika tak terdapati makanan pun
dengan lapang beliau mengatakan kepada ibunda Aisyah kalau hendak puasa hari
itu. Lalu bagaimana kita?
Lalu bagaimana dengan keadaan rumah rasulullah? Rumah yang sangat
kecil dengan hamparan tikar yang sudah
usang dan nyaris tanpa perabot. Dengan tempat tidur hanya hamparan kulit
binatang berisi serabut kurma. Hafsah saat ditanya, “apa yang menjadi tempat
tidur Rasulullah Saw?” ia menjawab, “ kain dari bulu yang kami lipat dua. Di
asat itulah. Rasulullah Saw tidur. Pernah suatu malam aku berkata (dalam hati):
sekiranya kain itu aku lipat menjadi empat lapis, tentu akan lebih empuk
baginya. Maka kain itu kulipat empat lapis.” Maka di suatu subuh, Rasulullah
bertanya kepada Hafsah,”apa yang engkau hamparkkan sebagai tempat tidurku
semalam?” aku menjawab, itu alas tidur yang biasanya Nabi pakai, hanya saja aku
lipat empat. aku kira akan lebih empuk.” Rasulullah membalas,” kembalikan ke
asalnya! Sungguh, disebabkan empuknya, aku terhalang dari shalat malam.” (H.R.
At-Tirmidzi)
Saking segerhananya kehidupan Rasulullah hingga membuat sahabat
Umar bin Khattab menangis. Suatu kali umar menemui Rasulullah Saw. Dan dia
mendapati beliau sedang berbaring diatas tikar yang sangat kasar. Sebagian
tubuh beliau berada di atas tanah. Beliau hanya berbantalkan pelepah kurma yang
keras. “aku ucapkan salam kepadanya dan duduk di dekatnya. Aku tidak sanggup
menahan tangisku,” ujar Umar bin Khattab.Rasululllah bertanya, “mengapa engkau
menangis, wahai Umar?” “bagaimana aku tidak menangis, wahai Rasulullah. Tikar
ini telah menimbulkan bekas pada tubuh engkau. Padahal engkau ini adalah Nabi
Allah dan kekasihNya. Kekayaanmu hanya yang aku lihat sekarang ini. Sedangkan
Kisra dan Kaisar duduk di singgasana emas dan berbantalkan sutera”.
Lalu Nabi saw berkata,” mereka telah menyegerakan kesenangannya
sekarang juga. Sebuah kesenangan yang akan cepat berakhir. Kita adalah kaum
yang menangguhkan kesenangan kita untuk hari akhir. Perumpamaan hubunganku
dengan dunia seperti orang yang bepergian musim panas. Ia berlindung sejenak di
bawah pohon, kemudian berangkat dan meninggalkannya”, ujar Rasulullah.
Rasulullah adalah orang yang sangat zuhud, beliiau hanya mempunyai
dua baju, tidur diatas daun pelepah kurma, perutnya selalu lapar. Bahkan sering
mengganjalnya dengan batu untuk menahan
rasa lapar tersebut.
Mungkin kebanyakan orang yang membaca tulisan ini adlah, apakah
salah jika kita ingin hidup mapan, apakah salah seorang muslim menjadi kaya?
Maka jawaban yang ada pun dengan sebuah pertanyaan. Untuk apa? Untuk kebutuhan
sehari-hari? Harus. Untuk mempersiapkan pendidikan anak? Bagus. Untuk jaga-jaga
suatu saat nanti butuh ini? Apa?. Ya. JAGA-JAGA adalah kalimat ampuh yang biasa
digunakan sebagai alasan orang untuk menimbun banyak harta. Sekaligus melemahkan
tawakal kita kepada Allah. Kita lebih merasa nyaman dan tenang jika ada duit
daripada kepada Allah. Jika kita mau menilik manajemen keuangan yang rasulullah
saw ajarkan (jika saya nggak salah) ada 3 pembagian uang kita. Sepertiga untuk
biaya sehari-hari, sepertiga lagi untuk shadaqah, sepertiganya untuk modal
usaha. Sepertiga yang pertama jelas fungsi uang untuk mencukupi segala
kebutuhan hidup. Dan sepertiga yang kedua gunanya adalah mencukupi kebutuhan
mati. Lucu kalau kita bersikeras memperbanyak tabungan untuk sesuatu yang bisa
kita cari kalau kita kehabisan, namu namun melupakan tabungan yang kita nggak
bisa cari lagi saat waktunya tiba, shadaqah. Dan sepertiga yang lain gunanya
adalah memutar uang. Ada yang bilang kita orang yang bergaji tetap bulanan
tidak perlu bikin usaha. Padahal kita hidup tak sendirian. Ada banyak maslahah
yang kita dapatkan dari berwirausaha. Selain profit. Kita turun andil membantu
mengentaskan pengangguran di daerah kita.
Ya, zuhud adalah jawaban dari semua kunci ketenangan dan
kebahagiaan hidup ini.. Tak mengapa hidup apa adanya. Bukankah itu lebih aman
untuk mempertanggung jawabkannya kelak. Menjauhi hal yang tidak bermanfaat
untuk akhirat, apalagi yang membahayakan kehidupan akhirat kita. Meskipun
hasrat manusia slalu ingin meraih apa yang di atasnya, lalu diatasnya lagi. Pengen
beli hape. Awalnya nyari yang penting bisa buat nelpon dan sms, lalu pengen
yang bisa memutar mp3. Bertambah lagi yang ada kameranya. Lalu muncul keinginan
laagi yang sudah jaringan 3G, tidak sampai disana pengen yang bersistem
android, belum sampai situ. Pengen yang berlayr 5 inch. Sampai kapan..???
padahal mungkin jika mencukupkan membeli seadanya. Lalu sisanya kita dermakan
kepada orang miskin yang lagi kesusahan. Tidakkah kita sadar, kebahagiaan mereka
mampu melebihi kebahagiaan saat kita membeli hape canggih tadi, belum lagi jika
Allah tersenyum kepada kita, lalu meridhoi hidup kita. Subhanallah. Kebesaran
hati takkan terbeli oleh apapun, kecuali dengan hiasan keimanan di dada.
Ingin punya hp android
canggih, kamera dslr, motor laki dua tak. Dan keinginan-keinginan itulah yang
disebut hawa nafsu. Keinginan dasar kita untuk bertahan hidup dan menjalani
kehidupan dengan kebahagiaan. Dia liar. Itulah yang menyebabkan banyak manusia
yang terjerumus karnanya. Lupa segalanya. Hingga yang ada di fikirannya adalah
mendapatkan semua apa yang hawa nafsunya ingini. Kunci kelemahan manusia yang
biasa dijadikan alat syetan untuk membawanya kepada dosa. “Hidup ini keras.
Susah…mau kamu kasih makan apa anak istri kamu? Kamu harus jadi pegawai. Biar
dapat gaji tetap. Biar kehidupanmu terjamin..” pertanyaan-pertanyaan dan
ungkapan seperti itu biasanya menjadi titik awal jeratan hawa nafsu dalam
memangsa kita. Melepaskan ikatan ketergantungannya kepada Allah dan merasa
bahwa semua apa yang didapatkan nantinya murni dari apa yang dia seberapa usaha
yang dia lakukan nantinya. Adakah Allah di hati kita yang menjadikan semuanya
teduh dan nyaman hanya karna cukupnya harta. Kenapa harus uang yang menjadikan
mereka merasa tenteram. Haruskah kita menggantungkan hidup ini pada bos-bos
yang kapitalis. Pernahkah mereka yang mapan itu menangis sesenggukan di sela
sujud mereka berharap besok ada rejeki untuk sekedar mengganjal perut, lalu dia
mendapatkannya dan dia merasakan tangan Allah benar-benar turun untuknya.
Adakah kita merasakan seperti itu? Atau
yang difikirkan kita hanyalah bagaimana dan bagaimana, tanpa mengikutsertakan
Allah di kehidupan kita.
Di dalam Al’Qur’an, pedoman kita. Justru orang-orang berharta lebih
banyak diberi peringatan. Tentang bahaya orang-orang yang berlebihan,
orang-orang yang dalam hidupnya bersenang-senang dan melupakan Allah. sedangkan
orang miskin dijamin dengan dimasukkan kedalam daftar penerima zakat. Saya
tidak mengajak untuk hidup miskin, sejauh kita yakin Allah mencukupi kebutuhan
kita, insyaAllah akan ada rizki untuk kita, sedangkan hidup enak lebih
membahayakan diri kita dengan segala godaan yang ada. Sebagaimana kekhawatiran
Rasulullah ketika ada seorang sahabat yang diuji dengan kebutaan namun dia
rajin sekali beribadah kepada Allah. Sampai rasulullah saw memujinya. Suatu
ketika dia mendekati rasulullah dan meminta beliau mendoakan agar dirinya
dikaruniai kesembuhan mata, dan bisa melihat karunia Allah di dunia sehingga
bertambah kesyukuran kepada Allah. Namun apa jawab Rasulullah. Beliau
menjelaskan kekhawatirannya ketika Allah mengabulkan doanya. Mata yang bisa
melihat itu nanti menjadikannya kufur dan melihat hal-hal yang haram. What do
you say? Bagaimana menurut anda?
Setiap orang mempunyai sudut pandang sendiri-sendiri dalam
memandang sebuah materi. sayapun merasakan betapa susahnya hidup dengan
kekurangan seperti ini. Namun kita hidup tak sekedar hidup. Ada esensi sendiri
yang harus kita ambil. Bukan sekedar kemapanan. kuselipkan sebuah kisah menarik
tentang salah satu kakakku, dia adalah kakak yang paling kusayang karena waktu
ku kecil dia selalu membelikanku mainan ketika dia pulang dari rantauan. Ya,
meski sekedar jam tangan yang tertempel tanganku atau sebuah mobil RC di
sampingku saat kutidur. Itu selalu membuatku surprise, terkadang ingin diri
membalas semua kebaikan itu tapi sayang, nasibku tidak seperti yang kubayangkan
sebelumnya. Kakakku ini orang yang baik, dari kecil dia dikenal penurut dan
sangat berbakti pada orang tua. Gak neko-neko. Sangat relijius. Namun sekarang
di usianya yang sudah dibilang tak lagi muda. Dengan 4 orang anak, bisa
dibilang kehidupannya masih pas-pasan. Mungkin bagi kita yang memandang hal
ini. Apakah ini adil baginya. Suatu kebaikan yang dibangun sedari kecil tak
membuat kehidupannya menjadi mapan, padahal dia layak menjadi orang besar,
bahkan lebih layak dari para anggota parlemen yang kerjanya Cuma duduk, tidur
lalu dapat uang. Karena jika dia jadi orang kaya pasti dia ringan tangan
membantu sesama. Namun kenyataannya tidak seperti itu. Adilkah bahkan sampai
usianya yang tak lagi muda dia seolah masih merasakan kesempitan hidup? Ney...!!
Tak begitu aku melihatnya. Allah menjaganya di dunia ini agar lurus jalannya ke
syurga nantinya, di akhirat kelak. Menjaga dari apa? Menjaga dia dari
memikirkan hidup dan melupakan akhiratnya, menjaga dia dari kesibukan dunia,
menjaga dia dari ketaatan kepadaNya, menjaga dia dari pandangan hidup serba
dunia. Kemewahan hanyalah tipuan, yang memberikan kebahagiaan sekejap. Namun
secara tak sadar itu telah melenakan manusia dari jalanNya. Ya. semoga saja
seperti yang kita harapkan.
Sebaik-baik doa adalah memohon dicukupi kebutuhannya agar tak
sampai tersentuh kepada sesuatu yang haram, dan sebagaimana besar rizki yang
kita dapatkan, sebesar itu pula kesadaran kita untuk menggunakannya dengan
baik, sehingga berkah di diri, bermanfaat bagi yang lain, dan bahagia di
akhirat. Terakhir kata, saya teringat pesan malaikat jibril yang disampaikan
kepada Rasulullah saw tentang dunia,
“wahai Muhammad, Hiduplah sekehendakmu, tapi ingatlah bahwa
suatu saat nanti kamu akan mati, cintailah siapapun yang engkau sukai, tapi
ingatlah bahwa suatu saat nanti kau akan berpisah dengannya, dan berbuatlah
sesukamu, tapi ingatlah bahwa ada saat semua itu kan ada balasannya”
Semoga ini bisa menjadi refleksi untukku dan memberikan pencerahan
buat teman-teman sekalian. Terima kasih.
Kau tahu kawan, harta ini kan kau tinggal mati..
Sedang cantik yang kau banggakan itu perlahan berkerut dan kering
kusam..
Lantas apa yang sedang kita cari ini.?
Lihatlah didepan sana, Gerbang keabadian tlah terbuka menganga..
2 comments:
Memang benar ya, terkadang demi uang banyak sekali yang lupa.
Hal seperti ini semoga dijauhkan ya. Tulisannya mantep neh.
iya...tingkat kesadaran kita akan hakikat hidup inilah yang menentukan pandangan kita pada materi di dunia ini. bisa jadi materi membawa kita pada kebaikan di akhirat kelak. bisa jadi pula, perlahan materi merusak itu semua,,, semua kesenangan yang bersifat duniawi sejatinya bersifat sementara, mementingkan kepuasan namun addiktif, itulah nafsu. boleh saja orang berpendapat dengan materi kita bisa membantu orang banyak. bisa sedekah kemana-mana. namun kalau kita mau menilik sebentar kata hatti kita. keberadaan materi malah semakin melenakan kita dari hubungan kepada Allah, meskipun dengnnya kita bersedekah banyak. dan kekurangan justru semakin menguatkan ketawakkalan kita kepada Allah, menyempitkan hasrat duniawi dan melebarkan kesempatan untuk beribadah kepada Allah. namun dari semua itu tidak berarti kita lepas begitu saja sebagaimana yang dianut para sufi. karena bagaimanapun kita ada hak badan dan segala hal yang menjadi tanggung jawab seperti anak-istri kita tuk ditunaikan. jangan sampai rasa lepas kepada dunia malah membuat kita menyusahkan orang lain dan memberikan kesan bahwa orang islam tak peduli dengan keadaannya, bahkan keluarganya.
ya..semoga saja kita dijauhkan dari fitnah kelebihan dan kekurangan rizki,,,amiin
Post a Comment